Zaman cepat berubah. Dan kita tak bisa mengelak.
Catatan kali ini bukan membahas tentang pedagang-pedagang di Glodok yang mulai gelisah dengan omset penjualan yang terus turun atau kondisi kekinian WTC Mangga Dua yang sepi seperti kuburan ketika tak sedang lebaran; dimana diduga kuat kedua fenomena ini (salah satunya) disebabkan oleh kemunculan tren belanja online secara masif beberapa tahun belakangan.
Alih-alih mengupas persoalan “darat” tersebut diatas, saya akan menguraikan mengenai apa yang kemudian terjadi di dunia online itu sendiri. Sebab di ranah ini, perubahan yang terjadi dengan begitu gegas juga menimbulkan kegeli-geli basahan yang tak kalah mendebarkan diantara para pelakunya.
So, let’s start!
The Tokopedia Effect
Masih lekat dalam ingatan, ketika beberapa tahun lalu (2012), dalam buku berjudul “Cerdas Mengelola Toko Online”, saya pernah menulis review yang sangat positif tentang Tokopedia dan memprediksikan pertumbuhannya di masa depan. Waktu itu, Tokped baru mau masuk tahun ketiga dan masih dianggap semacam “remahan rengginang di kaleng khongguan” ^_^
Tulisan mengenai Tokopedia kemudian berlanjut lagi dalam buku saya yang lain tentang “Drosphipping” yang mengkultuskannya sebagai sumber “harta karun” tersembunyi untuk menemukan produk secara lebih lengkap, mudah dan murah.
Tentu saja, saya pernah merasakan sendiri betapa mudahnya kala itu menjual ratusan produk yang harganya dinaikkan hingga beberapa puluh persen dari Tokopedia melalui forum jual-beli, sosmed dan website toko online.
Bahkan baru sekitar setahun lalu, saya juga masih sempat icip-icip omset menggelegar dari berjualan menggunakan Fb Ads untuk aneka produk “As seen on TV” yang ada di Tokopedia seperti semprotan cuci mobil yang mampu memuncratkan air laksana jet (EZ JET), kartu mainan binatang 4D yang juga ada makanan bohongannya (4d Flashcard), alat pancing berbentuk pena (Coleman Fish Pen Fishing) dan lain sebagainya.
Jika Anda suka scroll timeline Facebook, Anda mungkin segera sadar apabila iklan dari produk-produk seperti yang disebutkan diatas yang dahulu suka nonggol kini menjadi amat jarang terlihat.
Salah satu alasannya mungkin karena kini semua orang tahu Tokopedia!
Saking terkenalnya, promosi besar-besaran dengan beragam penawaran super menarik dari Tokopedia ini pada akhirnya menciptakan sebuah gejala baru di masyarakat kita:
Cari infonya di internet – Lihat barangnya di mall dekat rumah – Eksekusinya di Tokopedia
The Marketplace Effect
Faktanya, Tokopedia tidak sendirian. Sebab kita tahu jika fenomena marketplace juga telah menghadirkan beberapa nama beken yang tak kalah mentereng seperti Bukalapak yang mulai rajin berjualan Reksadana serta emas secara online dan Shopee yang selalu rajin nombokin ongkos kirim.
Dengan jumlah penduduk yang banyak, pertumbuhan jumlah pengguna internet yang luar biasa cepat, perekonomian yang sehat walafiat dan regulasi yang belum sepenuhnya jelas, Indonesia adalah arena yang seksi bagi para ventura kapitalis untuk menginvestasikan dana dalam jumlah bombastis.
Maka bisnis “baru” berbasiskan valuasi terjadi pula di negeri ini, yakni model perusahaan yang berfokus pada pertumbuhan dan bukan profit, dengan kerugian serta defisit keuangan yang amat besar setiap bulan selama bertahun-tahun.
Saling bunuh pun dimulai demi mendapatkan status sebagai pioneer, hingga nantinya terjadi bubble atau ketika ada yang mencaplok yang lain atau ada yang mati terlebih dahulu kehabisan nafas.
Sayangnya, meski tidak berlaku secara keseluruhan, kematian yang lebih dini sudah mulai menghampiri para pebisnis berskala kecil dan menengah yang punya modal terbatas. Dengan produk dan cara yang biasa, omset yang dihasilkan kemungkinan besar tak lagi sama. Di sisi lain, para pedagang dari Glodok dan WTC Mangga Dua yang boleh jadi beralih profesi menjadi penjual online turut pula menambah-nambah saingan.
Duh, rengginang ^_^
Ihwal kehadiran marketplace ternyata juga menciptakan perilaku baru bagi para pengguna terutama dalam aktivitas belanja online. Dengan begitu rupa, marketplace tak hanya menawarkan diskon istimewa, gratis ongkir, cashback, fleksibiltas metode pembayaran, keamanan transaksi, melainkan juga terus mengedukasi konsumen agar terbiasa untuk mencari barang yang hendak dibeli secara langsung melalui platform yang mereka miliki, termasuk banyak offer yang berlaku secara ekslusif hanya pada platform.
Kondisi tersebut pada akhirnya melahirkan sebuah ketergantungan terhadap platform yang untuk kesekian kalinya akan turut serta mengganggu ekosistem dalam dunia jual-beli online yang selama ini ada.
Toko Online Masa Kini
Ya.
Zaman telah berubah. Dan ketika apa yang kita kerjakan tak lagi memberikan hasil seperti sediakala, maka kita pun harus berubah.
Toko online masa kini adalah tantangan. Pergeseran platform adalah kenyataan.
Namun sesungguhnya, fenomena yang sama telah juga terjadi bertahun-tahun lalu di negara-negara yang lebih maju. Di Amerika Serikat misalnya, data tahun 2015 menyebutkan jika 44% pengguna yang ingin membeli produk akan langsung mencarinya melalui Amazon, alih-alih mencarinya menggunakan Google.
Tetapi itu tidak lantas membuat traffic dari Google untuk menjual produk Amazon menjadi tak lagi dapat diandalkan, karena sebagai pemain Amazon saya tahu persis bagaimana legitnya konversi traffic organik serta bagaimana cara untuk melakukannya dengan strategi SEO yang sudah saya lakukan bertahun-tahun lamanya.
Tak hanya itu saja, sebab walaupun saat ini saya tidak lagi mengurusi toko online karena lebih memilih untuk fokus pada bisnis utama berbasiskan SEO, serta menulis, dengan pendekatan berbeda yang pernah saya lakukan bertahun-tahun lalu, bahkan hingga detik ini masih saja ada sms, WA, bbm pemesanan yang masuk.
Note: Baru saja, buku terbaru saya mengenai SEO telah dibuka penjualannya. Anda dapat menjadi salah satu dari 999 orang pertama yang bisa mendapatkan buku ini di harga termurahnya. Info lebih lanjut, silahkan kunjungi http://thebookofseo.id
What to do?
So, apa yang dapat dan harus kita lakukan sekarang?
Berikut beberapa tips untuk menghadapinya:
Dissolves in the platform – Larut dalam platform. Jika tidak bisa melawan, maka kita harus memanfaatkannya. Sebab selain ada banyak bisnis yang terganggu dengan kehadiran marketplace, kita tahu tak sedikit pula yang menuai kesuksesan darinya.
Pertama-tama tentu kita harus yakin dulu dengan produk yang kita jual, baik dari segi harga maupun kualitas. Apabila tidak bisa menang murah kita bisa menang cepat (fast response), apabila tidak bisa menang cepat kita bisa menang dekat, apabila tidak bisa menang dekat kita bisa menang posisi dan reputasi.
Maka jangan pernah pelit untuk melakukan upgrade akun serta menggunakan semua fasilitas premium yang tersedia pada platform marketplace.
Create your own product or find another one – Saya tidak percaya dengan kapitalisme. Tapi jika ada hal yang harus saya sukai dari sistem ini, maka itu adalah kreativitas yang timbul akibat persaingan tak masuk akal melawan para pemodal besar yang rakus bukan kepalang.
Dan kehadiran marketplace yang menggerus bisnis mungkin menjadi sebuah pertanda bagi Anda untuk membuat produk sendiri, apa pun itu. Sebab ketimbang mengeluh atau menyerah, lebih baik gunakan energi, amarah, semangat dan kreativitas yang muncul untuk dapat menanjak lebih tinggi.
Kalau tak percaya, coba tanyakan kepada Jack Ma, jadi apa doi hari ini jika dulu ia tidak ditolak mentah-mentah untuk bekerja di KFC atau tidak gagal masuk polisi.
Selain itu (bila memang belum mampu untuk membuat produk sendiri), ini mungkin saat yang tepat untuk mencari produk yang lain. Tenang saja, meski marketplace merajalela, saya pastikan jika masih ada banyak sekali produk yang belum terjamah untuk digarap secara lebih serius.
Focus on Local Market – Jangan pernah sepelehkan local market, yaitu konsumen yang berada di sekitarmu. Sebagaimana yang saya beritahukan sebelumnya, hampir 80% dari pemesanan yang masih saja masuk bahkan ketika jualan tak lagi diurus berasal dari orang-orang di kota yang sama dengan tempat tinggal saya.
Percayalah, ada banyak sekali orang yang suka membeli secara online dari penjual yang berada di dekat mereka.
Tipsnya adalah dengan mencantumkan lokasi kota atau wilayah (untuk jabodetabek yang memiliki lebih banyak penjual) pada setiap promosi yang kita lakukan, terutama jika itu menggunakan jalur SEO dan SEM. Untuk iklan berbayar seperti FB Ads, cobalah untuk fokus pada area yang lebih sempit.
Anda juga dapat senantiasa memanfaatkan OLX yang sangat ramah terhadap pencarian lokal, tentu hanya jika ia cocok dengan profil dari produk yang Anda jual.
Change the Angle – Angle didefinisikan sebagai sudut pandang atau pendekatan yang diambil oleh marketer untuk menawarkan sesuatu kepada audience.
Ia adalah kurang lebih tentang bagaimana kita menganalisa masalah, memberikan solusi, menemukan alasan dan mencari pihak berkepentingan mana yang akan menerima penawaran yang kita buat.
Pada kasus menawarkan Obat kuat, misalnya, kita dapat melakukan pendekatan langsung kepada orang yang membutuhkan dengan alasan kesehatan, atau kepuasan pasangan, atau kebahagiaan rumah tangga. Kita juga bisa melakukan pendekatan kepada seseorang untuk membelikannya kepada pasangan mereka, atau teman-teman dari orang yang kita tuju.
Jadi apabila kita ingin tetap bisa menjual produk yang sama dengan harga yang sama pada market yang sudah jenuh atau penuh, maka kita harus melakukan pendekatan yang berbeda.
Sebagai penutup, izinkan saya memberikan cerita tentang si Udin dan si Ucok yang diminta si bos untuk berjualan sepatu ke Afrika.
Si Udin, yang pertama kali sampai di Afrika hanya mampu bertahan 3 hari sebelum menelpon si bos untuk menyerah. “Wah bos, saya tidak bisa menjual sepatu disini karena tidak ada satu orang pun yang memakai sepatu di Afrika! Saya mau pulang saja!” katanya.
Sementara si Ucok yang juga dikirimkan ke Afrika menelpon si bos dengan sangat bersemangat. “Pak Bos, segera produksi lebih banyak! Disini tak ada satu orang pun yang memakai sepatu! Ini peluang luar biasa!”
Yeah,
That’s Angle.
Share if you care,
RA