Semua akan berubah.
Tentu saja.
Tapi perubahan kali ini tak biasa.
Prediksi saya: kita akan mengenang 2020 sebagai tahun yang tak normal. Tahun yang tertangguhkan. Tahun yang terlewati. Tahun seakan Bumi berhenti berputar.
Lihat saja, mulai dari kuartal kedua tahun ini hampir seluruh event ditunda. Segenap project dihentikan. Semua rencana gagal.
Padahal kelabu baru saja dimulai. Baru di anak tangganya yang pertama.
Saya bukan pesimis atau sedang menakut-nakuti, namun hanya ingin menggambarkan hal sebenarnya yang begitu serius agar kita semua dapat mempersiapkan diri mulai dari sekarang.
Dan badai pasti berlalu. Sama halnya dengan berbagai krisis yang telah terjadi sebelumnya. Hanya saja semua tak akan lagi sama setelah ini.
** Sebagai informasi, beberapa waktu lalu, saya sudah menceritakan isu mengenai korona ini di video yang saya upload di Youtube berjudul “Korona: virus yang akan mengubah masa depan kita“. Disana materinya baru di permukaan sehingga saya akan coba untuk mengulasnya lebih dalam di tulisan ini. Jadi anggap saja ini adalah part 2 nya.**
Pandemi
Ok.
Kali ini adalah sebuah pandemi. Level tertinggi dari sebuah wabah penyakit yang menyebar secara global dengan sangat cepat dimana pertumbuhan jumlah orang yang terinfeksi tidak bisa lagi dikendalikan.
Pengalaman menunjukkan, setiap pandemi terjadi, dibutuhkan waktu yang panjang sebelum kondisi benar-benar berhasil dipulihkan. Beberapa contohnya adalah kolera, tipes, cacar, tubercolosis, campak, malaria, demam kuning dan lain sebagainya,
Sementara untuk pandemi yang berhubungan dengan influenza, waktu yang dibutuhkan lebih singkat dengan rata-rata 1 tahun sebelum ia berhasil dikendalikan, berikut beberapa datanya:
- Spanish flu (1918–1920)
- Asian Flu (1957–1958)
- Hong Kong Flu (1968–1969)
- Russian Flu (1977–1978)
- H1N1/09 Flu Pandemic (2009–2010)
Pandemi flu paling akhir yang terjadi adalah H1N1 atau swine flu atau flu babi yang berlangsung antara Januari 2009 hingga Agustus 2010 (saat status pandemi dicabut), yakni kurang lebih 19 bulan lamanya.
Maka tepatlah rasanya jika saat ini kita memang baru berada di anak tangga yang pertama, sebab baru beberapa minggu saja kita memulainya. Perjalanan masih jauh.
Padahal efek yang ditimbulkannya sudah terasa begitu menyeramkan, bukan?
Domino Effect
Selain tipikalnya yang rentan untuk menular, krisis yang terjadi saat ini memiliki efek domino yang luar biasa.
Ada setidaknya 2 alasan.
Pertama, karena ini disebabkan oleh virus atau wabah penyakit yang berdampak langsung pada perasaan takut, salah satu emosi paling kuat yang ada pada manusia. Tak ada yang menyebar lebih cepat dan hebat selain rasa takut.
Kedua, karena ditunjang oleh berbagai faktor diluar wabah itu sendiri, utamanya akibat dari amplifikasi sosial media dan geopolitik.
Coba lihat saja, kita belum sampai ke peak, namun begitu banyak hal yang telah terjadi:
– Larangan masuk keluar negara tertentu
– Larangan export-import
– Pasar modal yang merosot tajam
– Rupiah yang terpuruk
Maka tak heran jika kita akan segera masuk ke dalam resesi ekonomi.
Bayangkan ada berapa banyak orang yang harus kehilangan penghasilannya akibat roda perekonomian yang tetiba mandek imbas korona.
Seorang tukang cukur rambut yang biasanya mencukur 10 orang setiap hari untuk bertahan hidup akan kehilangan hidupnya apabila tak lagi bisa mencukur seperti biasa. Seorang bos barbershop yang mempekerjakan 5 pencukur tak akan bisa lagi memberikan gaji saat pemasukannya mendadak nol.
Jika beberapa minggu orang masih bisa bertahan, maka beberapa bulan sudah lain cerita.
Jangankan tukang cukur, team satelite MotoGP pun terancam gulung tikar apabila balapan tak kunjung dimulai. Dan memang balapan tak akan dimulai dalam waktu dekat.
Lalu bagaimana dengan pedagang asongan, kaki lima, tukang becak, merchant di mall, pertokoan, rumah makan, pasar tradisional, dan lain sebagainya? Tentu semua akan merasakan dampaknya.
Efek domino yang tak kalah buruk adalah meningkatnya kredit macet dan menurunnya daya beli masyarakat secara ekstrim. Keduanya merupakan indikator yang memicu krisis moneter.
Sayangnya, itulah yang harus kita hadapi pada bulan-bulan mendatang.
Pada sebuah titik, barangkali akan terjadi pergerakan dan gesekan horisontal. Mudah-mudahan tidak chaos sehingga menimbulkan hal yang lebih buruk dari virus itu sendiri.
Kondisi ini jelas bergantung sepenuhnya pada pemerintah dan segelintir penguasa yang membuat kebijakan. Keputusan yang mereka ambil dalam waktu-waktu genting ini akan menentukan masa depan kita bersama.
Pergeseran Pola Hidup
Perbedaan mencolok krisis kali ini adalah pada waktu ia terjadi.
Mari kita lihat kembali pandemi flu terakhir kali yang terjadi di tahun 2009 atau waktu krisis ekonomi 2008.
Waktu itu, Facebook dan berbagai social media sudah ada, tapi belum sepopuler dan seramai sekarang.
Perangkat mobile yang populer paling mentok adalah blackberry yang canggihnya cuma buat bbm-an doang. Sementara android baru saja berada di fase awalnya. Masih versi cupcake.
Istilah hoax belum kita kenal seakrab ini.
Saya sendiri sudah bekerja dari rumah saat itu meski bagi kebanyakan orang saya lah yang hoax karena menurut mereka kerja dari rumah pada saat itu tidak masuk akal.
Tapi sekarang, semua telah berubah.
Justru kalau kita belum bisa bekerja dari rumah sekarang, maka kita dianggap kuno.
Selain itu, berbagai anjuran mengenai cara kita melindungi diri lambat laun telah menjadi hal yang seolah wajib dilakukan.
Bukan tidak mungkin apabila seluruh kebiasaan-kebiasaan baru tersebut kelak akan menjadi sesuatu yang permanen.
– Cek suhu tubuh dimana-mana
– Social distancing
– Pakai masker
– Bekerja dari rumah
– Belajar dari rumah
– Meeting online
– Sekolah dan kuliah online
– Pengadilan online
– dst.
Bayangkan seorang gaptek yang harus ke atm melulu hanya untuk cek saldo, transfer uang atau bayar listrik, kini dipaksa untuk melakukan itu semua menggunakan smartphone miliknya. Tentu ia akan segera merasakan kemudahannya dan tak pernah mau lagi ke atm untuk melakukannya. Barangkali menyesal betapa bodohnya ia selama ini.
Itu contoh yang sepele.
Faktanya ada banyak sekali hal yang memang seharusnya dapat dilakukan dengan teknologi yang belum diadopsi oleh masyarakat kita.
Pergeseran ini memang sepatutnya terjadi. Namanya disrupsi teknologi. Tapi dari yang seharusnya memakan waktu bertahun lamanya dipaksa menjadi begitu gegas kala krisis terjadi.
Dan meski sekarang semua sedang mengurung diri, kita ternyata bukan kembali ke zaman batu, melainkan melompat ke masa depan.
Beberapa perusahaan di Wuhan dan Tiongkok mulai mempertimbangkan untuk meneruskan pola kerja yang mereka terapkan saat pendemi korona merebak disana selama beberapa bulan, yaitu bekerja dari rumah. Alasannya karena hal tersebut ternyata dapat dilakukan, lebih efisien dan lebih menguntungkan bagi perusahaan. Mereka merasakan langsung efisiensi yang terjadi saat pegawai dapat bekerja dari rumahnya masing-masing.
Inilah yang saya sebut sebagai: sesuatu yang tidak lazim saat normal, menjadi lazim saat krisis kemudian menjadi mainstream saat krisis selesai.
Kelihatannya bagus. Tapi efek samping saat ia diterapkan secara luas adalah hilangnya banyak jenis pekerjaan dan phk besar-besaran.
Ternyata apa yang hilang saat krisis punya kemungkinan untuk tak kembali setelah semuanya normal.
Revolusi tersebut pada akhirnya memang akan terjadi. Sudah diprediksi oleh banyak ahli mengenai revolusi industri 4.0. Tapi tidak seharusnya segegas ini. Sebab kita tahu, kecepatan yang tinggi punya sifat membunuh yang mengerikan.
Stigmatisasi
Selain itu, setelah ini kita mungkin juga akan hidup dalam stigmatisasi untuk jangka waktu yang lama.
Dulu saya sering berkata jika generasi ini begitu beruntung karena bisa keliling dunia, liburan atau sekolah atau cari pacar bule dengan biaya yang murah. Tak seperti zaman saya dahulu, kemana-mana naik bis, harga tiket pesawat mahalnya minta ampun.
Sekarang saya akan cabut kata-kata itu.
Sebab setelah ini dunia tak lagi sama.
Pandemi global telah meningkatkan kewaspadaan sekaligus merenggangkan hubungan antar negara dan manusia.
Bayangkan saja, tatkala kasus infeksi terjadi, hal pertama kali yang selalu diidentifikasi adalah apakah itu imported case atau bukan.
Hongkong telah menerima gelombang kedua dari infeksi korona yang datang dari imported case beberapa hari belakangan (saat tulisan ini dibuat) sehingga kini mengharuskan setiap orang yang masuk untuk melakukan karantina mandiri selama 14 hari di hotel dengan biaya sendiri sebelum bebas berkeliaran.
Hal yang sama juga terjadi di mainland China dan Vietnam yang sudah sulit-sulit menjaga penyebaran di dalam negri tetapi malah kecolongan dengan imported case. Solusi terakhir yang dapat mereka tempuh adalah menutup rapat-rapat akses masuk ke negaranya.
Masalahnya tentu karena wabah tidak terjadi secara serentak–dan memang tak bisa diatur secara serentak–sehingga sambar-menyambar tak dapat dihindari yang berakibat naiknya level kecurigaan antara satu dengan yang yang lain.
Saat wabah pertama kali berlangsung di Wuhan, pecinan di negara barat telah jadi korban stigma. Lebih dari itu, orang-orang asia yang berwajah mirip juga menjadi korban stigma bahkan diteriaki sebagai virus korona berjalan. Jadi bukan tak mungkin jika di masa depan orang Itali, Iran atau Indonesia (jika wabah menjadi besar disini) juga akan mengalami stigma serupa.
Atau sebaliknya, bule di asia. Kalau Anda masih ingat zaman dulu saat hiv baru ditemukan, orang disini tidak mau sekolam renang dengan bule. Takut kena hiv.
Dan jika Anda masih lupa, stigmatisasi semacam ini juga terjadi pasca kerusuhan 1998 di Indonesia dan 9/11 di Amerika Serikat bagi sebagian kalangan yang sebetulnya tak berhubungan sama sekali dengan peristiwa itu. Kita tahu bagaimana etnis tionghua di Indonesia dan atau umat muslim di Amerika Serikat (serta negara barat lainnya) mengalami stigmatisasi, bahkan sampai detik ini.
Stigma adalah hal yang buruk untuk terjadi. Tapi memang tidak mudah untuk mengatasinya dan saya yakin ketidakmudahan itulah yang juga akan kita alami di masa mendatang.
Pandemi korona ini ternyata tak hanya berhasil meningkatkan kesadaran masyarakat akan kebersihan dan rajin cuci tangan, melainkan juga melebarkan jarak antar manusia, memperbesar rasa curiga dan menciptakan stigma yang baru.
Satu dari sedikit solusi yang tersedia untuk mengatasi stigmatisasi yang memukul keras hubungan antar manusia serta banyak industri terutama pariwisata / transportasi adalah vaksin.
Itu pun dengan tantangan yang tak mudah, diantaranya:
– Vaksin harus ampuh dan diyakini betul tidak punya efek samping buruk jangka panjang.
– Kepentingan bisnis karena melibatkan jumlah uang yang bukan main besarnya.
– Geopolitik dan egoisme negara.
– Produksi dan distribusi.
– dll
Peluang Untuk Belajar
Tentu saja selalu ada peluang dan kesempatan saat krisis terjadi. Apa pun itu.
Sedikit dilematis meski saya harus bersyukur, sebab saya sendiri justru merasakan dampak positifnya bagi bisnis dan nyaris tak memengaruhi pola hidup saya terlalu banyak.
Mayoritas bisnis saya yang dijalankan secara online dan menyasar market Amerika Serikat bertumbuh cukup baik karena banyak orang di rumah berarti lebih banyak orang berbelanja secara online. Ini belum dari pertambahan yang saya peroleh dari nilai tukar Rupiah dimana untuk setiap 100 perak pelemahannya, sekian juta penghasilan saya bertambah. Sebab penghasilan terbesar saya, sejak lebih dari 10 tahun lalu adalah dollar.
Hal yang sama juga terjadi pada pola hidup saya.
Saya yang sudah bekerja dari rumah sejak lama tak merasakan dampak #dirumahaja yang terlalu berarti.
Kantor saya pun tetap berjalan seperti biasa karena himbauan untuk diliburkan belum ada (saat tulisan ini dibuat, di tempat saya yang kasusnya korona positif masih 0). Jika pun himbauan itu terbit, seluruh team saya dapat dengan mudah menyesuaikan diri karena memang seluruh pekerjaan dilakukan menggunakan laptop dan sambungan internet. Saya sendiri hanya kesana kalau sedang kepingin dan lebih banyak melakukan monitor dari rumah via cctv, email dan whatsapp.
Satu-satunya yang saya rindukan adalah antar anak sekolah setiap hari karena sekolah memang sedang diliburkan.
Saya merasa beruntung karena telah mencuri start dari lama seraya di sisi lain saya juga terus membenahi berbagai hal untuk menjaga bisnis saya dari dampak buruk yang mungkin bisa terjadi dalam beberapa waktu ke depan.
Sebetulnya, sudah sejak sekitar 5 tahun lalu, saya telah mengingatkan banyak orang, terutama yang dekat, jika disrupsi teknologi akan terjadi.
Intinya adalah, apabila tidak segera menyesuaikan diri, cepat atau lambat, tanpa korona pun, toh semua yang tak pandai melakukan adaptasi juga akan gulung tikar. Tahun ini pun saya sedang menulis buku berjudul “Berenang atau Tenggelam” yang menjelaskan fenomena tersebut.
Tapi toh korona datang tanpa diundang. Sesuatu yang mendorong perubahan yang cepat, yang memaksa kita untuk (sekali lagi) melompat ke masa depan.
Maka tak ada hal lain yang dapat saya sarankan: jika Anda adalah pengusaha, maka Anda harus betul-betul memanfaatkan teknologi, baik dalam hal produksi, management, sdm hingga urusan marketing. Dan apabila Anda bekerja, maka tingkatkan skill yang berhubungan dengan teknologi karena akan ada banyak kantor yang membutuhkan ketrampilan tersebut di masa mendatang.
Jika saat ini Anda memiliki waktu luang, mungkin karena sedang diliburkan atau #dirumahaja, maka inilah kesempatan Anda untuk belajar. Jangan malah cuma nonton netflix, main game atau tidur melulu.
Ada banyak hal yang dapat Anda pelajari dari banyak sumber. Buku, blog dan artikel-artikel online dapat dijadikan referensi (Anda dapat membaca tulisan saya yang cukup panjang tentang digital marketing disini). Selain itu, Youtube menyimpan harta karun untuk semua ilmu yang Anda butuhkan.
Berikut beberapa ketrampilan anti-miskin versi saya yang dapat Anda pelajari (lain kali mungkin saya akan membahasnya lebih mendalam):
– Menulis
– Desain / Video editing
– Bahasa asing
– Public speaking
Dan berikut beberapa bidang dalam digital marketing yang saya sarankan untuk Anda pelajari:
Peluang Untuk Berinvestasi
Peluang lain yang saya lihat ada di bursa saham.
Setiap krisis, selalu ada “orang kaya baru” yang dilahirkan dari bursa saham. Jika Anda sudah mengikutinya sejak lama, Anda pasti tahu betapa “murahnya” harga saham sekarang.
Orang paling beruntung saat ini adalah mereka yang memegang cash. Silahkan lewatkan bagian ini apabila Anda tidak memegang cash.
Anda dapat mulai melihat pergerakan beberapa saham dari industri evergreen seperti Unliever, Ultrajaya, Indofood, Sidomuncul, dll (saat krisis orang tetap beli odol, shampo, rinso, indomie, susu dan tolak angin, kan?).
Atau Anda juga dapat mulai melihat saham lain yang undervalue (harga lebih murah dari yang seharusnya) seperti saham perbankan (BBNI, BBRI), telekomunikasi (TLKM, EXCL) atau saham komoditi lainnya seperti PGAS dan AUTO.
Jika pun Anda tidak bisa mengelolanya sendiri, Anda masih dapat mulai mengincar reksadana saham yang saat ini juga sedang anjlok. Beberapa produk yang saya rekomendasikan:
– Succorinvest Equity Fund
– Batavia Dana Saham
– HPAM Ultima Ekuitas 1
– dst
Note: Jika Anda ingin berinvestasi di reksa dana, Anda dapat menggunakan aplikasi bernama Bibit. Klik disini ➡️ https://riantoastono.com/bibit
Gunakan kode referral “rianto” (tanpa tanda petik) pada saat melakukan registrasi untuk mendapatkan cashback Rp. 50ribu.
Apa pun pilihannya, intinya yang mau saya sampaikan adalah jangan lewatkan kesempatan krisis untuk melakukan investasi karena krisis tidak terjadi setiap tahun. Padahal krisis adalah kesempatan untuk membeli di harga super murah.
Diclaimer on.
– Gunakan hanya cash yang nganggur, bukan uang makan atau yang diputar untuk usaha, dan bukan uang dari berhutang.
– Lakukan dengan money management yang baik.
– Target investasi jangka panjang > 5 tahun. Semakin lama semakin baik, semakin rendah risikonya.
– Risiko investasi bukan tanggungjawab saya.
Penutup
Kita sudah sampai disini.
Semoga saat Anda membaca tulisan ini, keadaan sudah menjadi lebih baik.
Saya telah membuat analisa yang mudah-mudahan seluruh bagian buruknya adalah kesalahan yang saya lakukan.
Saya menyadari jika tak semua bisnis dan usaha dapat dihubungkan dengan teknologi sehingga bagian-bagian tersebut tak dapat dijangkau oleh tulisan ini. Bagaimana pun, ada banyak sekali model bisnis dan hal-hal yang tak saya ketahui.
Tapi paling tidak, saya sudah memberikan perspektif dari bidang yang saya tahu dan pahami yang semoga dapat memberikan insight dan manfaat bagi Anda.
Dan tentu saja tidak semua yang saya katakan benar adanya. Anda tak harus percaya apalagi menelan mentah-mentah catatan ini.
Saya tidak ingin Anda berpikir seperti saya.
Saya hanya ingin Anda berpikir.
Regards,
RA