Pelajaran Penting Tentang Bisnis dari Papan Akselerasi BEI

P

Per 22 Juli 2019 lalu, BEI (Bursa Efek Indonesia) memberlakukan peraturan pencatatan baru untuk perusahaan dengan aset skala kecil (kurang dari Rp. 50 miliar) dan menengah (Rp 50-250 miliar) yang ingin menjadi perusahaan tercatat di BEI alias melakukan IPO (Initial Public offering) dimana saham suatu perusahaan dapat dimiliki oleh publik.

Dengan demikian, saat ini BEI memiliki 3 buah papan, yakni: Papan Utama yang berisi daftar saham perusahaan-perusahaan besar, Papan Pengembangan yang berisi perusahaan-perusahaan yang berskala menengah dan tentu saja Papan Akselerasi.

Ini berarti, terbuka kesempatan bagi perusahaan-perusahaan startup dan UMKM untuk mendapatkan alternatif pendanaan selain dari Angel investor, VC (venture capitalist) atau fundraising seperti yang sudah kita kenal selama ini.

Dan salah satu diantara startup atau UMKM yang berpotensi untuk masuk dalam papan akselerasi tersebut barangkali adalah perusahaan kecil-kecil cabe rawit milik kita.

Entah Anda tertarik atau tidak untuk melisting di bursa atau memperoleh pendanaan atau menjadikan perusahaan Anda go public, satu hal yang pasti: ada beberapa pelajaran penting yang dapat kita petik. Sekaligus pengingat bagi bisnis yang saat ini kita jalankan, Anda dan saya.

Mari kita mulai pembahasannya.

Papan Akselerasi

Pada 8 Januari 2020 lalu, PT Tourindo Guide Indonesia Tbk (PGJO) resmi melantai di BEI sebagai perusahaan pertama dan satu-satunya (hingga tulisan ini dibuat) yang berada di papan akselerasi dengan melepas sebanyak 48,98% dari total saham kepada masyarakat dengan total penawaran senilai Rp12 miliar.

Tourindo Guide Indonesia merupakan startup yang bergerak di bidang digital tourism marketplace yang terbilang masih seumur jagung.

Dalam laporan keuangannya, perusahaan ini mencatat rugi sekitar Rp 1,75 miliar dan hanya berhasil membukukan pendapatan Rp 36,18 juta per Juni 2019 lalu, dimana target perusahaan untuk mencetak laba adalah pada tahun 2026 mendatang.

Hmmm.

Anda mungkin sedikit berdehem demi melihat mutasi rekening Anda yang nilainya jauh lebih besar dari pendapatan PGJO yang bagi Anda cuma secuil itu. Kemungkinan besar arus kas Anda pun selalu positif.

Anda mungkin berpikir tidak masuk akal untuk terus bertahan jika harus rugi sampai miliaran rupiah. Boro-boro dan amit-amit.

Si Bambang bisa jadi mulai membayangkan, kalau begitu caranya, ia pun bisa meng IPO kan perusahaannya untuk mendapatkan pendanaan miliaran rupiah dengan kode emiten BMBG yang keren abis.

Si Susi mungkin kepengen kode emiten SUSI untuk perusahaannya. Cucok banget.

Anda dan saya mungkin juga bisa berandai-andai untuk itu.

Tapi pertanyaannya: Apakah perusahaan dan bisnis yang kita jalani saat ini sudah layak dan bisa untuk melakukan IPO?

Belum tentu.

Dan dari sinilah pelajaran pentingnya bermula.

IPO (Initial Pubic Offering)

Sekarang bayangkan perusahaan Anda ingin melakukan IPO.

Walaupun Anda tidak mau, coba bayangkan saja. Anggap sebagai bagian dari pelajaran kita.

Oke. Kalau sudah, coba sediakan 2 hal yang dibutuhkan saat sebuah perusahaan ingin melakukan IPO, yakni:

  • Laporan keuangan
  • Prospektus

Apakah Anda sudah memilikinya? Tak usah yang bagus, cukup catatan yang rapi saja.

Kalau belum, berarti ada yang kurang dari cara Anda mengelola perusahaan, secaberawit apa pun itu.

Untuk melihat arah perusahaan serta menentukan langkah-langkah strategis yang perlu diambil, Anda membutuhkan laporan keuangan serta prospektus.

Bagi sebuah perusahaan yang ingin Go Public dimana secara otomatis ia harus menjadi terbuka, tak hanya namanya saja yang akan dibubuhi tbk. (terbuka), melainkan betul-betul terbuka dimana laporan keuangannya dapat dilihat, dikulik dan dianalisa oleh siapa saja; maka akan dibutuhkan laporan keuangan..

Dari laporan keuangan yang biasanya dirilis setiap kuartal (per 3 bulan) akan terlihat gambaran jelas dari sebuah perusahaan, mulai dari kinerja masa lalu, track record, pertumbuhan, arus kas, laba rugi dan seterusnya.

Tanpa memilikinya, bagaimana Anda dapat melihat semua itu? Apakah dengan cara meraba dan mengira-ngira saja? Hmmm.

Pelajarannya: sekecil apa pun perusahaan yang Anda miliki, jika itu Anda sebut sebagai perusahaan (atau bisnis), jangan lupa untuk membuat laporan keuangannya.

Jika belum, buatlah. Jika sudah, coba buat yang lebih baik.

Aset

Selain berbagai relaksasi aturan, kemudahan dan fleksibilitas, Papan akselerasi tidak mewajibkan perusahaan untuk memiliki net tangible asset minimal Rp 5 miliar sebagaimana yang harus ada di papan yang lain.

Ini cocok dengan kita.

Aset mungkin memang tidak lagi relevan dengan bisnis kita di ranah digital yang begitu modern dan kekinian.

Bahkan tanpa kantor fisik, sebuah perusahaan digital yang baik dapat dijalankan dengan cukup lancar untuk menjadi besar.

Meski demikian, bisnis kita tetap membutuhkan aset yang lainnya.

Ada setidaknya 2 aset terpenting yang harus dimiliki oleh sebuah perusahaan, yaitu:

  • Database leads, pengguna, pelanggan
  • SDM

Apakah Anda sudah memilikinya?

Jika belum, buatlah. Jika sudah, coba buat yang lebih baik.

Dependency dan Sustainability

Bisnis yang baik, idealnya harus mandiri, tidak bergantung pada banyak hal yang berada diluar dirinya.

Tapi di ranah digital, dependency jadi sebuah tantangan sejak seluruh hal cenderung berkait satu sama lain.

Meski demikian, kita dapat dengan mudah mengindentifikasi seberapa bergantungnya bisnis yang kita jalankan sekarang dengan membayangkan apa yang dapat terjadi dalam 5 tahun ke depan.

Tanyakan: Apakah dalam waktu 5 tahun bisnis yang Anda lakukan saat ini masih tetap bisa dijalankan atau tidak?

  • Bagi Anda yang menggantungkan bisnis di marketplace, misalnya, mungkin Anda tidak akan terlalu yakin dengan kondisi 5 tahun lagi. Bahkan marketplace yang Anda gunakan pun mungkin sendirinya juga tak yakin apakah mereka masih akan ada dan sama di 5 tahun mendatang.
  • Bagi Anda yang saat ini memanfaatkan fasilitas COD via marketplace dengan cara membuat akun bejibun, merusak pola belanja, misalnya, tak butuh waktu lebih dari sedetik untuk mengatakan jika itu tak akan ada lagi dalam 5 tahun mendatang.

Hal yang sama berlaku jika Anda menyandarkan bisnis Anda 100% pada satu hal diluar diri Anda, misalnya:

  • 100% pada supplier, pabrik, agen yang sama
  • 100% pada Facebook Ads
  • 100% pada Instagram
  • dst

Dependency dan sustainability, keduanya jauh lebih penting dibandingkan scalebility. Sebab sebesar-besarnya usaha akan percuma jika ia tak mampu bertahan lama. Mending kecil tapi tahan lama daripada besar tapi tak tahan lama. Mana lembek pula. Eh.

Pertanyaannya: Apakah bisnis atau perusahaan Anda terlalu bergantung dengan satu hal? Apakah Anda dapat melihat bisnis yang sama yang tumbuh dalam 5 tahun?

Jika tidak, mungkin itu cuma main-main.

Bisnis Model

Sejak seluruh laporan keuangan terbuka lebar, maka bisnis model jadi hal utama yang akan dipelototi oleh para calon investor.

Dan inilah yang paling penting.

Tak harus jadi disrupter atau punya sesuatu yang super duper canggih. Bisnis model adalah sesederhana bagaimana perusahaan kita dapat memperoleh uang dan keuntungan:

  • Bagaimana kita membuat / menghadirkan produk atau service
  • Bagaimana kita mengakuisisi konsumen
  • Bagaimana kita dapat mencatatkan penjualan yang konsisten
  • Bagaimana kita dapat memaksimalkan penjualan per customer
  • dan seterusnya.

Kesimpulan

Dengan menjadikan perusahaan atau bisnis kita seolah-olah siap untuk Go Public, kita akan belajar bagaimana cara untuk mengelolanya dengan cara yang lebih baik. Tujuannya adalah untuk mengenali apakah yang kita miliki saat ini layak untuk dijalani dengan mengorbankan waktu kita yang berharga, lalu mengetahui sampai mana ia akan bertahan dan sebesar apa gerangan bisnis tersebut di masa mendatang.

Atau jangan-jangan selama ini kita cuma bercanda.

 

Semoga bermanfaat
RA

telegram

About the author

Rianto Astono

an author, book obsessive, writing enthusiast, associate, blogger. Internet marketer since 2004.

Get in touch

Please send your email directly to rianto@gaptex.com or follow me via social channels below: